Rabu, 01 Mei 2013

Memotong Kuku dan Rambut Saat Haid

Tidak terdapat riwayat yang melarang wanita haid untuk memotong kuku maupun rambut. Demikian pula, tidak terdapat riwayat yang memerintahkan agar rambut wanita haid yang rontok utnku di cuci bersamaan dengan mandi paska haid. Bahkan sebaliknya, terdapat riwayat yang membolehkan wanita haid untuk menyisir rambutnya. Padahal, tidak mungkin ketika wanita yang menyisir rambutnya, tidak ada bagian rambut yang rontok. Disebutkan dalam hadis dari A’isyah, bahwa ketika Aisyah mengikuti haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesampainya di Mekkah beliau mengalami haid. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

 …..دعي عمرتك وانقضي رأسك وامتشطي

“Tinggalkan umrahmu, lepas ikatan rambutmu dan ber-sisir-lah…” (HR. Bukhari 317 & Muslim 1211)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan A’isyah yang sedang haid untuk menyisir rambutnya. Padahal beliau baru saja datang dari perjalanan. Sehingga kita bisa menyimpulkan dengan yakin, pasti akan ada rambut yang rontok. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh A’isyah untuk menyimpan rambutnya yang rontok untuk dimandikan setelah suci haid.

Hadis ini menunjukkan bahwa rambut rontok atau potong kuku ketika haid hukumnya sama dengan kondisi suci. Artinya, tidak ada kewajiban untuk memandikannya bersamaan dengan madsi haid. Jika hal ini disyariatkan, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan jelaskan kepada A’isyah agar menyimpan rambutnya dan memandikannya bersamaan dengan mandi haidnya.
Dalam Fatawa Al-Kubra, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah terdapat pertanyaan, “Ketika seorang sedang junub, kemudian memotong kukunya, atau kumisnya, atau menyisir rambutnya. Apakah dia salam dalam hal ini? Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa orang yang memotong rambutnya atau kukunya ketika junub maka semua bagian tubuhnya ini akan kembali pada hari kiamat dan menuntut pemiliknya untuk memandikannya, apakah ini benar?”
Syaikhul Islam memberi jawaban

قد ثبت عن النبي صلى الله عليه و سلم من حديث حذيفة ومن حديث أبي هريرة رضي الله عنهما : أنه لما ذكر له الجنب فقال : إن المؤمن لا ينجس. وفي صحيح الحاكم : حيا ولا ميتا
.
“Terdapat hadis shahih dari Hudzifah dan Abu Hurairah radliallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang orang yang junub, kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis.’ Dalam shahih Al-Hakim, ada tambahan, ‘Baik ketika hidup maupun ketika mati.’

وما أعلم على كراهية إزالة شعر الجنب وظفره دليلا شرعيا بل قد قال النبي للذي أسلم : ألق عنك شعر الكفر واختتن. فأمر الذي أسلم أن يغتسل ولم يأمره بتأخير الاختتان وإزالة الشعر عن الاغتسال فإطلاق كلامه يقتضي جواز الأمرين
.
Sementara saya belum pernah mengetahui adanya dalil syariat yang memakruhkan potong rambut dan kuku, ketika junub. Bahkan sebaliknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang yang masuk islam, “Hilangkan darimu rambut kekufuran dan berkhitanlah.” Beliau juga memerintahkan orang yang masuk islam untuk mandi. Dan beliau tidak memerintahkan agar potong rambut dan khitannya dilakukan setelah mandi. Tidak adanya perintah, menunjukkan bolehnya potong kuku dan berkhitan sebelum mandi…’” (Fatawa Al-Kubra, 1:275)


Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali berkata, telah menceritakan kepada kami Al Harits bin Wajih berkata; telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: ” Di bawah setiap lembar rambut adalah junub, maka basuhlah rambut dan bersihkanlah kulit.” (H.R. Tirmidzi No. 99)

Tirmidzi berkata : Dalam bab ini juga ada riwayat dari Ali dan Anas yaitu hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali telah menceritakan kepada saya Al-Harits bin Wajih telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah s.a.w.  bersabda; Sesungguhnya di bawah setiap rambut ada junub, maka basuhlah rambut dan cucilah kulit. (H.R. Abu Daud No. 216)

Abu Isa berkata; “Hadits Al Harits bin Wajih adalah hadits gharib (diriwayatkan dari satu jalur saja) yang kami tidak mengetahui kecuali darinya, sedangkan ia adalah seorang syaikh yang lemah.

Abu Isa mengatakan : “Tidak sedikit para ulama yang meriwayatkan darinya, namun ia meriwayatkan hadits ini dengan sendirian, dari Malik bin Dinar. Terkadang ia disebut dengan nama Al Harits bin Wajih dan kadang dengan nama Ibnu Wajbah.”

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam telah menceritakan kepada kami Syarik dari Khasif berkata; telah menceritakan kepadaku seorang lelaki semenjak tiga puluh tahun yang lalu dari Aisyah berkata; “Ketika saya menganyam rambutku, lalu Rasulullah s.a.w. berkata kepadaku: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau tahu bahwa setiap rambut itu ada junubnya’.” (H.R. Ahmad No. 24970)

Ini adalah hadits munkar (yaitu satu atau dua perawinya dla’if) Abu Dawud berkata; Al-Harits bin Wajih haditsnya munkar dan dia dha’if.

Telah menceritakan kepada kami Nashr bin Ali Al Jahdlami berkata, telah menceritakan kepada kami Al Harits bin Wajih berkata, telah menceritakan kepada kami Malik bin Dinar dari Muhammad bin Sirin dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya di bawah setiap rambut itu terdapat janabah, maka basuhlah rambut dan bersihkan kulit wajah kalian.” (H.R. Ibnu Majah No. 589)

Hadits di atas juga hadits dla’if karena perawinya bernama Harits bin Wajih dinyatakan sebagai perawi dla’if oleh Abu Daud, Nasa’iy, Ibnu Hajar Asqolani dan Adz Dzahabi.

Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar berkata, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamzah berkata, telah menceritakan kepada saya ‘Utbah bin Abu Hakim berkata, telah menceritakan kepadaku Thalhah bin Nafi’ berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Ayyub Al Anshari berkata; Nabi s.a.w. bersabda: “Shalat lima waktu, jum’at ke jum’at berikutnya dan menunaikan amanah adalah penghapus dosa.” Aku bertanya; “Apa yang dimaksud dengan menunaikan amanah?” beliau menjawab: “Mandi janabah, sesungguhnya di bawah setiap rambut itu terdapat janabah.” (H.R. Ibnu Majah No. 590)

Hadits ini adalah hadits dla’if karena perawinya Utbah bin Abi Hakim adalah tabi’in yang ternyata tidak pernah berjumpa dengan para Sahabat Nabi maka pertemuannya dengan Thalhah dan Abu Ayyub Al Anshari diragukan. Ibnu Hajar Asqolani mengatakan Utbah bin Abi Hakim banyak salahnya. Yayha bin Ma’in dan Nasa’iy juga mengatakan Utbah adalah perawi dla’if. Sedangkan Ibnu Hibban dan Abu Hatim mengatakan ia shahih. Namun dalam ilmu jarh wa ta’dl (penilaian perawi) Yahya bin Ma’in dikenal lebih dijadikan patokan penilaiannya. Ibnul Qoyyim mengatakan bahwa Yahya bin Ma’in menjadi patokan karena ia yang paling teliti penilaiannya.

Andai katapun hadits-hadits di atas ini kita ambil sebagai dalil (walaupun dla’if) maka maksud dari perkataan “di bawah setiap rambut terdapat janabat” bukanlah seperti yang disangkakan orang bahwa harus mengumpulkan dan mencuci rambut yang rontok. Jika konsekuen dengan penafsiran dan persangkaan seperti di atas, maka tidak hanya rambut dan kuku, melainkan kulit pun tidak boleh rontok. Padahal menurut ilmu pengetahuan setiap hari ada 3 juta sel kulit kita yang rontok dan berganti sel kulit baru. Bagaimana mungkin agama Islam menjadi agama yang menyulitkan bagi umatnya seperti disangkakan oleh mereka?

Makna dari “di bawah setiap rambut terdapat janabat/junub”, adalah pada keterangan kalimat selanjutnya “Maka basuhlah rambut itu dan bersihkan kulit wajah kalian” adalah agar ketika mandi janabat atau mandi wajib (baik setelah junub karena senggama atau karena selesai haid) agar menyeka semua bagian tubuh dengan seksama termasuk ke sela-sela rambut dan mencuci muka. Hal ini sebagai penegasan agar hal itu tidak terlewatkan.
Maka konteks waktu dan situasi dari perkataan “di bawah setiap rambut terdapat janabat/junub”, adalah ketika mandi junub dan bukan ketika sebelum mandi atau selama haid. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah s.a.w.

Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Sa’id telah menceritakan kepada kami Abu Khalid dari Hajjaj dari Fudlail bin ‘Amru dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari Abdullah ia berkata: “Hendaknya ia (wanita yang mandi hadats) menyela-nyela rambutnya dengan jari-jemarinya.” (H.R. Darimi No. 1130)

Tidak hanya kepada wanita, beliau s.a.w. pun memasukkan jari jemarinya ke sela-sela rambut hingga membersihkan kulit kepalanya dibersihkan dengan air.

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb Al-Wasyihi dan Musaddad mereka berdua berkata; Telah menceritakan kepada kami Hammad dari Hisyam bin Urwah dari Ayahnya dari Aisyah dia berkata; Apabila Rasulullah s.a.w.  mandi junub, Sulaiman menyebutkan : “Beliau memulai dengan menuangkan air dengan tangan kanan beliau ke tangan kirinya. Musaddad menyebutkan; Beliau membasuh kedua tangannya dengan menuangkan bejana ke tangan kanannya. Kemudian mereka berdua bersepakat menyebutkan; Lalu beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu, beliau berwudhu sebagaimana berwudhu untuk shalat, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana, dilanjutkan dengan menyela-nyela rambutnya. Setelah Rasulullah telah yakin bahwa kulit kepalanya terkena air, beliau menuangkannya ke atas kepalanya tiga kali. Apabila ternyata masih ada sisa air, maka beliau menuangkannya lagi ke atas kepalanya. (H.R. Abu Daud No. 210)

Namun pada hadits yang lain menunjukkan bahwa membasuh sela-sela rambut dan kulit kepala ini bukan merupakan keharusan terbukti ketika Aisyah bertanya sebagai berikut :

“Ya Rasulullah, aku adalah wanita yang sangat kuat kepangan/jalinan rambutku, apakah aku harus melepaskannya saat mandi janabah?” Beliau menjawab: “Tidak perlu, namun cukup bagimu untuk menuangkan air tiga tuangan ke atas kepalamu, kemudian engkau curahkan air ke tubuhmu, maka engkau suci.”  (H.R. Muslim No. 330)

Aisyah r.ah berkata: “Alangkah mengheran-kan Ibnu ‘Amr itu. Ia memerintahkan para wanita apabila mereka mandi agar melepaskan kepangan atau jalinan rambut mereka. Mengapa ia tidak perintahkan saja mereka agar mencukur rambut-rambut mereka? Sungguh dulu aku dan Rasulullah s.a.w. pernah mandi dari satu bejana, ketika mandi itu aku tidak menambah dari sekedar menuangkan ke atas kepalaku tiga tuangan. (H.R. Muslim No. 331)

Al-Imam Ahmad t pernah ditanya, apakah wanita yang mandi janabah harus melepaskan jalinan atau kepangan rambutnya? Beliau menjawab, tidak wajib dengan dalil hadits Ummu Salamah. (Al-Mughni, kitab Ath-Thaharah, masalah Wa Tanqudhul Mar`ah Sya’raha li Ghusliha minal Haidh wa Laisa ‘alaiha Naqdhuhu minal Janabah Idza Arwat Ushulaha) Wallahua’lam.

       Setetes Hidayah

Mohon kritik dan sarannya yah.. Reques juga boleh..^^
Copas, jgn lupa creditnya yah, full..;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar